Entri Populer

Senin, 20 Oktober 2008

Belajar Sejarah: Wacana Jadul tak pernah ujung?

Belajar Sejarah: Wacana Jadul tak pernah ujung?
Ketika kita dengan kesendirian seringkali kita melamun atau mengingat masa lalu, jika kita teringat dengan masa yang memalukan kita ingin segera melupakan “masa malu” itu. Namun, ketika mengenang keindahan seperti masa persahabatan yang erat, menciptakan hal yang baru atau bahkan ketika mengenal “deg-degan” jika ketemu yang kita sukai pada lain jenis. Itulah ingatan yang kita miliki pada masa lampau yang mengharuskan kita mengalir dari masa lampau kemudian ada keinginan untuk memperbaiki perilaku buruk pada masa “kebodohan” yang kita lakukan atau berlama-lama ria dengan kenangan terindah yang pernah kita alami. Ingatan itu secara sadar atau tidak terus tersimpan diingatan kita untuk terus menuju pada hal-hal yang baik. Saya jamin kita ingin “baik”. Dengan mengenang itu salah satu jalan untuk memperbaiki kita pada hal-hal yang baik. Namun ukuran baik sekarang sudah mulai luntur kualitasnya. Mungkin karena longgarnya ikatan sosial, yang serba membolehkan. Tapi dengan mengingat masa lampau, kita akan berfikir atau berkata dalam hati: “Lho dulu, sikap ini gak boleh tapi kenapa sekarang jadi marak dilakukan?”. Ingatan atau “sejarah” itu tidak bisa dihilangkan begitu saja dalam diri kita! Walaupun kita berusaha untuk melupakannya…. Masa-masa “ malu” pasti akan teringat dan tidak ingin dilakukan kembali. Itulah sejarah diri kita sendiri…. Dan manfaatnya untuk kita sendiri…..
Beda halnya dengan belajar dari sejarah di sekolah yaitu untuk menjaga ikatan solidaritas dan memori kolektif kita dalan kesatuan Negara. Disini sejarah yang teks book disekolah tidak di alami oleh diri kita, tapi yang mengalami adalah benda mati dan konsep-konsep yang tidak konkrit, seperti “Negara”, “Perilaku Manusia” dan lain sebagainya. “Negara” memiliki sejarah, tetapi tidak dijalani oleh manusia karena banyak pergantian oleh manusia dari berbagai generasi. Maka, dibuatlah cerita atau “kenangan-kenangan” melalui buku-buku tentang runtuh dan kejayaan suatu Negara, inilah sejarah kolektif bagi masyarakat suatu negara. Seperti, Negara kita Indonesia, kita pribadi tidak mengalami kejayaan kerajaan Sunda, Majapahit atau Sriwijaya. Hal itu, tidak di alami oleh kita. Tapi ingatan kita akan berjalan ketika kita membaca buku. Dan pikiran kita akan membayangkan masa-masa tersebut, sehingga “menjadi wisata sejarah”. Hanya sayang kita terjebak dalam “wisata sejarah” tersebut dalam pikiran kita, tanpa memproses esensi “wisata sejarah” yang kita bayangkan tersebut. Maka, jangan heran kalau kita tetap berjalan di tempat dalam hal perilaku atau secara psikologis tidak dewasanya kita atau kita malah yang paling parah tidak menjadi manusia lagi!.
Kita sekarang apriori dengan sejarah karena ilmu tersebut tidak memiliki manfaat yang riil, terutama dalam material dalam bentuk “uang”. Orang merasa bermanfaat belajar matematika, fisika atau yang lainnya karena terbayang dengan materi yang akan di dapat. Beda halnya dengan sejarah tidak memberikan hal yang riil. Kalaupun terpikirkan hanya perlunya saja, yang lainnya akan tersapu bersih dalam ingatan kita. Kita tidak menyadari bahwa pada abad 18 bangsa Eropa berbondong-bondong mencari yang namanya “Indonesia” untuk mencari kekayaan dalam bentuk rempah-rempah. Dan bangsa Indonesia karena keramah tamahan tidak memiliki prasangka buruk apapun, sehingga muncul politik devide et impera dan monopoli. Sekarang, pada abad 20, bangsa Eropa masuk lagi dengan “jurus” barunya untuk mencari kekayaan dalam bentuk “pertambangan” dan dengan keramah tamahan bangsa Indonesia mempersilahkan bangsa tersebut mengeruk kekayaan sehingga muncul kembali politik devide et impera dan monopoli yang baru dengan di selimuti oleh KKN. Di lihat secara politik, dulu terjadi pertentangan penguasa dalam bentuk raja untuk saling menguasa yang akhirnya “di stir” oleh bangsa Eropa tersebut dengan aturan-aturan yang langsung dibuat oleh bangsa tersebut. Sama hal nya dengan sekarang, yang berlaku bukan penguasa raja, tapi dalam kedok lain yaitu pejabat-pejabat yang bertengger bisa bupati, DPR, atau lainnya sehingga tetap “di stir” oleh bangsa lain melalui aturan-aturan yang lebih modern yaitu Undang-undang. Sungguh ironis memang, kita bangsa terlena dengan sikap-sikap yang rendah hati tanpa adanya kewaspadaan dan memelihara harga diri. Sehingga, kita tereksploitasi dengan sikap kita.
Kita disini bukan belajar prasangka buruk terhadap orang lain atau skeptis. Tetapi, kita menuju hal yang terbaik dalam memelihara hidup kita. Ini yang dinamakan dengan belajar sejarah. Kembali pada wacana di atas, ternyata kita tidak pernah mengevaluasi diri dengan “wisata sejarah”. Jadi secara umum, jangan ragu-ragu untuk berwisata sejarah dalam pikiran kita, hal tersebut akan memunculkan proses berfikir kita untuk menuju manusia seutuhnya atau menjadikan manusia. Kalau disimpulkan, manfaat yang diambil dari aktivitas tersebut, yaitu pertama kita akan menuju manusia seutuhnya yang selalu mengevaluasi diri dari kesalahan-kesalahan, kedua tidak membekukan otak kita dalam berfikir menuju yang lebih baik sehingga jauh dari kepikunan. Cag ah……Wallahualam….
Dago, 19-10-2008

Tidak ada komentar: